November 2014, di penghujung tahun 2014 ini saya mendapatkan kesempatan luar biasa untuk bisa melihat dan berinteraksi langsung dengan beberapa praktisi asing. Sebuah kesempatan langka yang jarang saya dapatkan. Betapa tidak, dengan total sekitar kurang lebih 18 warga Negara asing dengan suku dan tempat berbeda-beda berkumpul di berau. Dan yang lebih hebatmya lagi kesemua dari mereka adalah para ahli hutan dan lingkungan. Mereka semua tak hanya bervariasi dari fisik, tetapi juga dari segi usia dan pengalaman. Yang paing muda berusia setahun di bawah saya adalah Janique-wanita muda penuh semangat yang berasal dari Cordoba.

Para ahli dari berbagai belahan dunia ini berkumpul di Berau dalam tujuan untuk menghadiri serangkaian acara yang diadakan oleh TNC (The Nature Conservancy) Berau, yakni “Jurisdictional Approaches to Green Development (JAGD): A Learning Exchange-pendekatan yuridis untuk pembangunan hijau : sebuah pertukaran ilmu”. Di agendakan mulai dari 13 s/d 16 November 2014. Acara dengan serangkaian agenda ini membuat semangat saya terpacu untuk lebih dalam mengenal tempat ini. Sebuah tempat yang kaya budaya dan kekayaaan alam, sebuah tempat yang menjadi paru-paru dunia, sebuah pulau terbesar di wilayah NKRI bernama Kalimantan.

“Acara JAGD ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari konferensi konferensi internasional yg diadakan di Jakarta sekitar 3 hari yang lalu, pengunjungnya ada banyak sekali dari beberapa negara ada dari brazil, meksiko, ada dari amerika perjalanan ini merupakan perjalanan yang paling asik selama ini”. tutur Herlina Hartanto salah satu staf TNC

Agenda mereka kali ini adalah untuk langsung melihat kekayaan alam dan budaya penduduk asli Kalimantan sekaligus teknologi baru yang baru diterapkan di tempat ini, teknologi hijau untuk mengurangi dampak penebangan pohon, teknologi yang di inisiasi oleh PT. Karya Lestari dengan nama RIL-C. Tentu saja tak semuanya berkesempatan melihat langsung kedua proses ini, mereka dibagi menjadi dua tim. Tim pertama akan berkunjung ke PT. Karya Lestari, untuk menyaksikan sendiri bagaimana teknologi hijau itu diterapkan. Dan tim kedua berkunjung ke Kampung Merabu, kampung yang dikelilingi oleh bentang alam gunung kapur karst menjadi bukti nyata tentang salah satu khasanah kekayaan alam yang ada di pulau ini.

Total jendral masing-masing tim akan menghabiskan 2 hari 1 malam di masing-masing area. Kali ini saya akan berbagi mengenai salah satu tempat trip tujuan mereka yakni Kampung Merabu, sebuah kampung kecil yang masuk di wilayah kecamatan Kelay ini memiliki luas wilayah sebesar 22.000 Ha dengan jumlah penduduk sebanyak 195 orang yang terdiri dari 55 KK. Kampung dengan mayoritas penduduk merupakan Suku Dayak Lebo ini memberikan sentuhan khas Dayak yang kental pada setiap pengunjung yang kemudian mampir kesini yakni hasil hutan dan berladang. Salah satu hasil hutan yang cukup terkenal di kawasan ini adalah Madu Merabu, yang dalam proses pembuatannya tak bersentuhan langusng dengan kulit tangan manusia. Karena dalam proses pembuatannya, sarang lebah di peras menggunakan dua batang bilah bamboo (kayu). Sehingga kemurnian dan khasiat Madu Merabu sangatlah terjaga.

Kampung yang terletak di bagian selatan kecamatan Kelay ini berbatasan langsung dengan Kampung Panaan di sebelah utara, di wilayah sebelah barat berbatasan langsung dengan Kampung Merapun dan di sebelah Timur dan Selatan berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Timur.

Untuk mencapai kampung ini kita harus naik menggunakan ketinting setelah menempuh perjalanan darat selama kurang lebih 3 jam, memang menurut sebagian orang bisa lewat di jalan darat yang telah dibuat oleh perusahaan tetapi nantinya akan sama saja karena masih harus menyeberang sungai dan medan yang ditempuh relative lebih susah ketimbang jalan utama apalagi ketika musim penguhujan seperti bulan ini. Sebuah perjuangan yang cukup setimpal untuk mendapatkan pengalaman luar biasa yang hanya bisa kita dapatkan di Kampung Merabu ini.

Pemukiman penduduk kampung ini tersebar di sepanjang aliran sungai Merapun yang merupakan anak sungai Kelay. Secara umum, masyarakat pada umumnya masih tinggal di rumah yang mereka dirikan pada awalnya, meskipun pemerintah telah melakukan inisisai dengan membuat rumah sehat sebagai rumah baru mereka.Hal ini membuat rasa ingin tahu Nancy Birdshall-staff Center For Global Development (CFGD)-salah seorang tim yang mengunjungi tempat ini, yang kemudian menanyakan kepada penduduk setempat alasan kenapa mereka tidak mau berpindah ke rumah yang disediakan pemerintah.”Kami masih nyaman di rumah kami yang sekarang, biarlah nanti anak-anak kami yang telah berkeluarga atau penduduk lain yang ingin menempati rumah tersebut.” Ungkap salah satu penduduk.

Kampung ini memiliki salahs atu kekayaan alam yang membedakannya dengan kampung-kampung lain pada umumnya. Ketika kampung lain kebingungan mendapatkan sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Penduduk kampung merabu memiliki sebuah mata air bernama Nyadeng yang oleh penduduk setempat digunakan sebagai sumber mata air. Dari sini, di pasang pipa-pipa yang di rakit bersama sebuah pompa besar milik warga Kampung Merabu untuk kemudian mengalirkan air bersih ke profil tank masing-masing rumah. Oleh karena penduduk di Kampung Merabu ini, sangat tergantung dengan hutan sebagai sumber kehidupan mereka, karena dari hutanlah mereka bisa melakukan kegiatan rutin. Mulai dari berladang di hutan, mencari obat-obatan dan sumber mata air.

Ada dua mata air yang membentuk seperti kolam yang besar dan mengalirkan airnya menuju ke sungai merapun. Air ini sangatlah jernih dan berhawa sejuk. Uniknya meskipun air ini berhilir ke sungai merapun namun airnya tidak menyatu dengan air sungai, bahkan ketika musim penghujan atau banjir tiba. Terlihat jelas batas air sungai merapun yang keruh kekuning-kuningan dengan mata air yang berwarna jernih kebiru-biruan.

Konon merurut penduduk setempat, seumber mata air ini belum diketahui dasarnya sampai sejauh mana. Jiak kita menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di area sekitar sungai kita bisa mendapati ikan besar-besar yang lalu lalang di di sungai tersebut. Disamping merasakan hawa sejuk khas sungai yang dapat mendinginkan pikiran kita.

Selain mata air Nyadeng tempat ini masih punya satu kekayaan alam yang luar biasa lagi, yakni Gua Bloyot, sebuah gua yang menjadi saksi sejarah tentang peradaban hidup nenek moyang kita, di gua bloyot ini terdapat hand print tangan manusia yang telah tercetak sejak ribuan tahun yang lalu. Sebuah temoat dengan khasanah sejarah yang luar biasa yang terus dijaga oleh penduduk kampung merabu.

Tim dan rekan setempat berhasil mengunjungi gua ini. sedikit pendakian dilakukan untuk mencapai pintu masuk gua ini. Tak menyesal memang meskipun harus mendaki lereng gunung karst, tim akhirnya dapat langsung melihat handprint yang tercetak di gua ini. Sebuah pengalaman luar biasa. Apalagi dari tepi gua kita bisa melihat luasnya wilayah kampung ini dan dapat juga menemui berbagai hewan endemic Kampung ini.

Selain Mata Air Nyadeng dan Gua Bloyot di pegunungan karst. Kampung Merabu masih menyimpan berbagai kekayaan alam yang luar biasa indah. Salah satunya adalah Danau Lebo, yang konon dikatakan memiliki air yang sangat jernih dan flora dan fauna yang masih asli dan terjaga.

“Saya kira merabu adalah satu daerah yang luar biasa, yang terbaik dari segi alamnya yaitu ada berbagai ragam keunikan dan nilai-nilai penting baik secara ekologi, bio diversity, budaya, social maupun secara sejarah.” Tutur Niel Makinuddin. Ia mendampingi tim mengunjungi goa bloyot, yang menurut ilmu out of Taiwan, bahwa gua ini pernah dikunjungi oleh bangsa penutur astronesia. Bangsa astronesia ini yang nantinya jadi bangsa Indonesia, New Zealand sampai ke pulau Solomon. Diperkirakan ribuan tahun yang lalu bangsa ini pernah mampir ke gua ini, ini merupakan salah satu sisi warisan yang harus terus dijaga keberadaanya.

Disamping dari segi kekayaan alam yang melimpah, sisi budaya Kampung Merabu juga merupakan salah satu sisi tak terelakkan dari kampung ini. Bagaimana masyarakat kenudian mau bekerja sama dalam menjaga hutan dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada di dalam hutan dengan kearifan yang luar biasa patut mendapatkan apresiasi. Masyarakat Kampung Merabu bisa menjadi contoh tentang bagaimana menerapkan hidup yang selaras dengan alam dan pada saat yang bersamaan ikut meningkatkan taraf kehidupan penduduknya.

Kampung ini telah memiliki peraturan kampung, baik berupa rencana strategis jangka pendek atau jangka panjang semua sudah ditetapkan disini. Ini menjadi salah satu nilai plus bagi kampung ini karena masyarakat luar yang berkunjung ke tempat ini jadi tahu dan mengerti bagaimana dan apa ke depannya kampung ini. semuanya tersusun dan tergambar jelas di rencana strategis yang telah dibuat.

Perjalanan ke Kampung kali ini membawa berbagai macam pengalaman dan perspektif berbeda kepada masing-masing peserta. Seperti yang dituturkan Leticia Guttierez Lorando-staf TNC Brazil. “Perjalanan kali ini sungguh luar biasa, saya bisa melihat dan merasakan keramahan penduduk setempat dan juga melihat langsung kekayaan alam disini.

Mereka semua terlihat antusias, ini terlihat jelas selepas hari kepulangan mereka dari kampung. Jadwal kunjungan mereka ke kampung Merabu dan PT. Karya Lestari adalah 14 November, dan esoknya mereka kembali ke hotel untuk kemudian saling berbagi tentang pengalaman apa yang mereka dapatkan selama berkunjung. Dengan wajah yang kelelahan mereka tetap dengan antusias menjawab beberapa pertanyaan atau pendapat dari masing-masing orang. Bahkan Leticia mengatakan bahwa “Tahun depan saya harus kesini lagi.”